Riuh Ombak dan Rindu dari Negeri Seberang Namlea, Pagi Hari di Dermaga Lokal

Disela embun yang belum habis menguap, pelabuhan lokal Namlea kembali menggeliat. Laut tenang seperti menahan napas, lalu perlahan menyerahkan dirinya pada riuh ombak kecil yang menyentuh tepian dermaga. Suara mesin perahu dari arah negeri seberang datang bergantian, membawa manusia, harapan, dan kisah yang akan ditukar di pasar hari ini.

Perempuan-perempuan tangguh dari Karang Jaya—para rongo-rongo—datang dengan bakul rotan di punggung, mengayun langkah pasti meski matahari belum sepenuhnya terbit. Di wajah mereka ada lelah yang biasa, tapi juga rindu yang tak pernah usai—rindu pada anak yang ditinggal di dusun, rindu pada dagangan yang semoga laku, dan rindu pada pagi yang selalu menunggu mereka di dermaga ini.

Namlea menyambut semua. Suara teriakan para buruh, ojek, abang becak, deru motor yang menjemput, dan bau garam yang mengendap di udara, jadi bagian dari irama pagi. Di sela semua itu, ada sapa pelan, tawa singkat, dan kadang doa yang dibisikkan diam-diam agar hari ini membawa rejeki yang cukup.

Pagi di dermaga PMP bukan sekadar awal hari. Ia adalah pertemuan antara laut dan darat, antara rindu yang datang dan pulang, antara riuh ombak dan keteguhan…

Scroll to Top