
Sekian lama merencanakan kegiatan canvassing kesalah satu shipper potensial akhirnya bisa menyempatkan waktu melihat langsung perkebunan karet yang berkorelasi dengan perusahaan besar perkebunan Sawit di Merauke. Perusahaan ini bergerak di bidang pengolahan karet setengah jadi yang hasilnya dipasarkan ke pasar domestik. Singkat cerita kami langsung bertemu dengan Bapak Ham Kepala Produksi yang menangani perkebunan karet seluas 1100 Ha. Masuk menuju kompleks perkantoran lumayan cukup jauh, sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan perkebunan karet yang tertata rapih, tersusun berjajar memang sudah direncanakan sejak awal penanaman bibit. “Shipper” dalam kamus logistik dikenal sebagai pihak yang mengirimkan barang, baik individu maupun perusahaan begitulah biasa kami menyebutnya.
Lokasi perkebunan berada di Desa Waetina Kabupaten Buru dengan jarak tempuh 80KM dari kota Namlea. Suasana pekebunan terlihat sunyi tidak seperti dibayangkan sebelumnya, hanya beberapa pegawai saja yang kami jumpai. Kompleks Perkantoran dan Mes hunian Pegawai menyatu ditengah-tengah kebun karet sekilas terasa nyaman berada dikejauhan keramaian kota.
Dari luasan perkebunan karet tersebut tidak semuanya digarap hanya 20% lahan yang menghasilkan karena keterbatasan jumlah pekerja. Saat ini jumlah pekerja harian kurang dari 100 orang penyadap. Jauh dari kata ideal dengan perbandingan satu orang hanya sanggup melakukan penyadapan satu hektar per hari.
Banyak warga lokal yang mulanya berprofesi sebagai penyadap kini mulai beralih jadi penambang emas liar. Masyarakat setempat lebih tergiur karena penghasilannya jauh lebih besar. Padahal kalau dihitung-hitung jumlah jam kerja hanya 4 jam per hari harusnya mereka dapat melakukan aktivitas lain yang lebih produktif seperti mengembala sapi, berkebun dan yang lebih penting lebih dekat dengan keluarga. Penyadapan dilakukan mulai jam 05.00 sampai jam 07.30 istirahat sarapan pagi, selanjutnya pohon-pohon yang sudah disadap dikumpulkan hasilnya untuk selanjutnya ditimbang dan dibawa ke gudang penyimpanan sampai selesai jam 09.00.
Penyadap yang bekerja diperkebunan dibayar harian sesuai produksi karet yang dihasilkan. Rata-rata karet yang dikumpulkan dalam satu hari sebanyak 50 Kg per orang dengan maksimal lahan yang disadap tidak lebih dari 1 Ha. Begitu terus selanjutnya berganti lokasi penyadapan dari satu area ke area lainnya setiap hari. Pohon yang sudah disadap tidak bisa diambil kembali dihari berikutnya, harus menunggu waktu cukup lama biar karet yang dihasilkan dapat banyak. Usia produktif pohon karet bisa sampai 25 tahun.
Belakangan ini produksi karet tidak lagi sebanyak dulu, jumlahnya terus mengalami penurunan. Ungkap Pak Ham. biasanya kami mengirimkan produk setengah jadi ke Surabaya dan Jakarta dalam jumlah besar, sekarang hanya mengirim 1 – 2 teus saja setiap bulan. Harga karet mentah cukup bervariatif berkisar 33.000 – 39.000 perkilo berbeda dengan 10 tahun lalu harga karet terbilang cukup tinggi.
Banyaknya pohon karet yang tidak tersadap menjadi perhatian sendiri, sangat disayangkan ribuan pohon karet menganggur tanpa digarap karena kurangnya jumlah pekerja. Sempat pula kami lihat ada beberapa lahan disekitar komplek perkantoran yang mulai ditanami sayur, buah, jagung dan umbi-umbian sekedar memenuhi kebutuhan karyawan sekaligus mendukung program ketahanan pangan.
Penambangan liar yang tidak jauh lokasinya dari perkebunan keberadaannya kini mulai dikeluhkan warga. Hal tersebut terlihat pada penggunaan merkuri tanpa adanya sistem pengelolaan limbah yang berdampak pada pencemaran seluruh ekosistem lingkungan serta efek domino yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan liar yang berujung pada penyakit sosial yang semakin meresahkan warga setempat.
Diharapkan keberadaan perkebunan karet ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya masyarakat Pulau Buru dan produksi karetnya dapat diolah lebih lanjut agar mempunyai nilai tambah.
