
Di ujung tanjung Lelemuku, Desa Namlea, tempat angin berbisik lembut dan ombak memeluk karang dengan irama purba, berlabulah sebuah perahu kecil yang diberi nama sederhana namun menggetarkan: “Doa Istri.”
Perahu itu bukan sekadar kayu, fiber dan paku yang dijalin menjadi tubuh yang mengapung di laut. Ia adalah simbol cinta yang tabah, harapan yang terus menyala, dan rindu yang diam-diam mengalir dalam setiap gelombang. Nama itu bukan sekadar ukiran di lambung perahu, tapi adalah napas yang menyertai setiap pelayaran.
Perahu itu milik seorang nelayan tua dari Lelemuku yang setiap subuh mengayuh takdirnya ke tengah laut, sementara di rumah, sang istri bangun lebih awal, menyiapkan kopi, lalu menengadah tangan ke langit. Doanya tak pernah rumit: “Ya Allah, lindungi suamiku dari badai, cukupkanlah rezeki hari ini.”
Maka, ketika perahu itu selesai dibuat, sang nelayan menolak menamainya dengan nama-nama garang atau heroik seperti “Sinar Samudera” atau “Raja Laut.” Ia memilih sesuatu yang paling setia, paling sunyi, namun paling kuat: Doa Istri.
Dan benar, sejak itu perahu kecil itu tak pernah pulang kosong. Entah karena keberuntungan, atau entah karena memang ada kuasa yang menyertai setiap dayung yang dilepas dengan restu cinta.
Kini, saat matahari tenggelam di cakrawala Tanjung Lelemuku dan langit menggoreskan lukisan jingga yang agung, perahu “Doa Istri” tampak pulang perlahan. Burung camar mengiringi, dan anak-anak berlari menyambut dari tepi pantai.
Tak ada yang lebih indah dari sebuah perahu yang kembali dengan selamat. Bukan hanya karena tangkapan di lambungnya, tapi karena ia membawa pulang sebuah bukti—bahwa doa yang tulus tak pernah sia-sia.
“Doa Istri,” di mata orang lain mungkin hanyalah nama,
tapi di hati sang nelayan,
ia adalah pelindung,
ia adalah pelita,
ia adalah jangkar yang membuat hidup tak terombang-ambing.
Dan laut pun mengerti,
bahwa cinta yang diam—selalu yang paling setia.
