Batabual Kecamatan yang tak pernah minta dilahirkan jauh dari pusat kekuasaan. Tapi sejak Kabupaten Buru mekar 25 tahun silam, negeri ini seperti ditinggalkan di beranda rumah besar bernama Indonesia—tanpa kabar, tanpa pelukan, tanpa janji yang ditepati.
Kami tumbuh di antara sabar dan kecewa. Menyambut pagi dengan harapan, lalu menutup ditinggal. Jalan raya tak pernah sampai. Jembatan tinggal dalam peta rencana yang usang. Pemerintah datang dan pergi, tapi Batabual tetap terjebak di tempat yang sama—diam dalam luka.
Anak-anak kami menyeberangi sungai pertaruhkan nyawa. Perempuan-perempuan tua memanggul beban hidup di punggung, melewati tanah becek yang belum disentuh aspal. Lelaki bekerja tanpa tahu sampai kapan harus menunggu perubahan.
Kami tak ingin menangis. Tapi bagaimana bisa tak lirih ketika negeri sendiri seperti menutup mata?
Batabual bukan minta istimewa. Kami hanya ingin dilihat. Disapa. Didengar. Dihitung dalam rencana pembangunan, bukan sekadar angka di belakang koma.
Indonesia, jika engkau mendengar ini: ketahuilah, ada satu negeri kecil yang masih menunggumu—dengan setia, dalam dingin, dalam hening, dalam harap yang nyaris padam.
Jangan biarkan kami terus menjadi anak yang tak pernah dijemput.
